Parenting

Anak Tantrum, Bagaimana Menghadapinya?


sebulan yang lalu


anak-tantrum-bagaimana-menghadapinya

Suatu siang di supermarket, Riki, seorang anak kecil, mulai menangis dan berteriak keras ketika ibunya menolak membelikannya mainan mobil-mobilan. Meski sudah dijelaskan bahwa Riki memiliki banyak mainan serupa di rumah, tangisannya justru semakin menjadi-jadi. Sang ibu pun merasa serbasalah, malu, dan tidak berdaya menghadapi situasi tersebut. Di satu sisi, ia tahu ada kebutuhan lain yang lebih mendesak, namun di sisi lain, ia khawatir jika tidak mengabulkan permintaan Riki, tangisannya akan semakin keras dan menarik perhatian orang-orang di sekitar. Akhirnya, dengan perasaan bingung dan tertekan, sang ibu memilih untuk membelikan mainan tersebut. Apakah tindakan ini benar?

Kejadian di atas adalah contoh dari tantrum, sebuah ledakan emosi yang tidak terkendali dan sering terjadi pada anak-anak usia 15 bulan hingga enam tahun. Tantrum biasanya terjadi pada anak-anak yang memiliki energi berlebih, terutama mereka yang dianggap "sulit," yaitu anak-anak yang memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar yang tidak teratur, sulit menyukai situasi atau orang baru, lambat beradaptasi terhadap perubahan, sering berada dalam suasana hati yang negatif, mudah marah, dan sulit dialihkan perhatiannya.

Tantrum dapat muncul dalam berbagai bentuk perilaku, tergantung pada usia anak. Pada anak di bawah usia tiga tahun, tantrum bisa berupa menangis, menggigit, memukul, menendang, menjerit, melengkungkan punggung, melempar badan ke lantai, menahan napas, hingga membenturkan kepala. Anak usia 3-4 tahun mungkin menunjukkan perilaku tantrum seperti menghentakkan kaki, berteriak-teriak, meninju, membanting pintu, atau merengek. Pada anak usia 5 tahun ke atas, tantrum bisa lebih kompleks, termasuk memaki, menyumpah, memukul kakak atau teman, hingga memecahkan barang dengan sengaja.

Beberapa faktor penyebab tantrum antara lain:
1.    Terhalangnya keinginan anak: Ketika anak tidak mendapatkan apa yang diinginkan, mereka mungkin menggunakan tantrum untuk menekan orang tua agar mengabulkan permintaan mereka.
2.    Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri: Anak-anak yang memiliki keterbatasan bahasa mungkin merasa frustrasi ketika tidak dapat menyampaikan apa yang mereka inginkan, yang kemudian meledak menjadi tantrum.
3.    Tidak terpenuhinya kebutuhan: Anak yang aktif memerlukan ruang dan waktu untuk bergerak. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, seperti saat harus duduk diam dalam perjalanan panjang, anak dapat menjadi stres dan melampiaskan stres tersebut dengan tantrum.
4.    Pola asuh orang tua: Cara orang tua mengasuh anak juga memengaruhi kemungkinan terjadinya tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan atau dilindungi, serta orang tua yang tidak konsisten dalam mendidik, bisa memicu terjadinya tantrum.
5.    Kelelahan, lapar, atau sakit: Kondisi fisik anak yang tidak optimal juga dapat memicu tantrum.
6.    Stres atau perasaan tidak aman: Anak-anak yang merasa stres atau tidak aman dapat lebih mudah mengalami tantrum.

Menurut buku Tantrums: Secret to Calming the Storm (La Forge, 1996), tantrum dianggap sebagai bagian normal dari proses perkembangan anak. Episode tantrum akan berakhir seiring dengan perkembangan fisik, kognitif, dan emosional anak. Meski demikian, penting bagi orang tua untuk tidak memuji atau menyemangati perilaku tantrum. Membiarkan anak mendapatkan apa yang mereka inginkan setelah tantrum, seperti dalam ilustrasi di atas, atau merespons dengan hukuman keras, hanya akan memperkuat perilaku agresif dan kasar.

Tindakan keliru dalam menyikapi tantrum berarti orang tua kehilangan kesempatan untuk mengajarkan anak tentang cara bereaksi terhadap emosi seperti marah, frustrasi, takut, atau jengkel dengan cara yang sehat. Anak perlu belajar bagaimana mengekspresikan emosi tanpa menyakiti diri sendiri atau orang lain.

Cara Mengatasi Tantrum:
1.    Tetap Tenang dan Konsisten: Saat anak tantrum, orang tua perlu tetap tenang dan konsisten dengan keputusan mereka. Jangan menyerah pada tekanan untuk mengabulkan keinginan anak saat tantrum.
2.    Alihkan Perhatian Anak: Mengalihkan perhatian anak ke hal lain yang menarik bisa menjadi cara efektif untuk meredakan tantrum.
3.    Beri Pengertian Setelah Tantrum: Setelah tantrum berakhir, beri anak pengertian bahwa perilaku tersebut tidak efektif dan ajarkan cara lain untuk mengungkapkan keinginan atau perasaannya.
4.    Pencegahan: Menghindari situasi yang dapat memicu tantrum, seperti memastikan anak tidak terlalu lapar, lelah, atau stres, dapat mengurangi frekuensi tantrum.
5.    Beri Kesempatan Anak untuk Menyatakan Pilihan: Memberikan anak pilihan dapat membantu mereka merasa lebih berkuasa atas situasi dan mengurangi potensi tantrum.

Dengan memahami bahwa tantrum adalah bagian dari proses perkembangan anak, orangtua dapat menangani situasi ini dengan lebih bijak, serta membantu anak belajar mengelola emosinya secara lebih sehat dan konstruktif.