sebulan yang lalu
Dalam perhelatan makan malam bersama gubernur terpilih, tersaji beragam hidangan yang lezat, berkualitas nutrisinya, dan disajikan dengan table manner yang rijit, dilayani para pramusaji yang ramah dan dihiasi gelak tawa bersahut-sahutan para tamu menyantap hidangan dengan lahap penuh semangat.
Hanya selemparan batu, pada saat yang sama, di seberang gedung, dalam sunyi seorang lelaki setengah baya bersama anak laki-lakinya, menyantap lahap nasi bungkus tak jauh dari becaknya, yang penuh rongsokan besi, plastik dan kardus hasil mulung seharian. Keduanya dengan gembira melahap nasinya dengan kedua tangan dekilnya, tanpa piring, tanpa sendok, apalagi dengan table manner. Keduanya menikmati nasi bungkus dengan sesekali tersenyum sambil bicara-bicara penuh gembira.
Makan malam yang lezat dan nikmat, meskipun berlangsung penuh ironi, keduanya menikmati hidangannya di tempat masing-masing dengan menu yang berbeda pula, perbandingan yang sangat memprihatinkan.
Telah menjadi pemahaman khalayak bahwa makan dengan rasa lapar akan mengoptimalkan pengolahan makanan yang dikonsumsi, meskipun dari sudut pandang ilmu gizi, kualitas nutrisinya kurang. Sementara orang yang makan karena kesenangan atau gaya hidup akan mengurangi daya kerja lambung dalam melakukan proses pencernakan.
Nabi Muhammad SAW mengajari kita makan dengan rumus sepertiga dan setiap bilangan nilainya selalu dihitung dari nol. Begitu pula dengan perut kita, bila beliau meresepkan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiga untuk udara, bila ketiganya telah masuk semuanya ke dalam perut, maka nilainya telah menjadi seratus atau penuh. Tetapi, tidak akan pernah mencapai nilai maksimal bila salah satu bagian di antara ketiganya tidak sepenuhnya kosong atau nol. Maka, sulit rasanya memenuhi sunah, berhentilah makan sebelum kenyang.
Perlombaan memewah-mewahkan menu atau membanyak-banyakkan jumlahnya, hanyalah wujud perilaku kesia-siaan yang ujungnya sudah jelas, yaitu terbentuknya karakter setan. Karena itu, seolah-olah menjadi hal lazim bila ada makanan sisa yang menggunung di setiap perhelatan pesta usai.
Terkadang masih ada pula sebagian dari kita, yang mencari pembenaran dengan dalih makan sehat atau memuliakan tamu. Padahal, makanan sehat bisa berakibat tidak sehat jika pola pikirnya tidak sehat. Pola pikirlah yang membentuk pola makan dan sikap terhadap makanan dan selanjutnya menentukan nilai makanan tersebut terhadap diri setiap orang.
Mereka yang hidup kekurangan, hanya bisa makan dengan menu seadanya, merasa sedih dan menahan perih di perutnya. Melihat makan lezat terbuang sia-sia begitu saja, mereka meratapi ketidak berdayaannya, dan rasa ketidakberdayaannya, bisa mendorong munculnya rasa putus asa, atau terucapnya doa buruk yang ditujukan pada pelakunya, sungguh sangat besar keburukan akan menimpa orang-orang yang telah melakukannya.
Tabdzir merupakan perbuatan menyenangkan yang dilarang karena akan benar-benar menjadi sebab terjadinya ketimpangan dalam hidup, baik ketimpangan ekonomi maupun ketimpangan sosial. Bermacam-macam konflik sosial akan terjadi antara kelompok masyarakat, yang pada saat selanjutnya menyebabkan terjadinya perpecahan di kalangan masyarakat.
Makan yang disebabkan oleh rasa lapar akan benar-benar menampakkan ekspresi lahap dan penuh kegembiraan dan membuat sehat lahir batin. Sementara makan karena kesenangan atau status sosial semata, hanya bisa melahirkan kepalsuan, seolah-olah wajahnya gembira dan pura-pura lahap sehingga memicu penyakit dan melahirkan konflik. Wallahu a’lam bisshawab.